Pakar Tegaskan RUU HIP Tak Diperlukan

Author : Humas | Jum'at, 03 Juli 2020 10:47 WIB
Dr. Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (Foto: Fida/FKIP)

TAK KURANG dari 2.500 peserta mengikuti webinar bertema “RUU HIP: Pelemahan Ideologi Pancasila?” yang digelar Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Kamis (2/7/20).

Antusiasme para peserta ini begitu tinggi lantaran tema yang diangkat sangat krusial dan sedang hangat-hangatnya, serta dibedah oleh tokoh-tokoh nasional yakni Yudi Latif, Ph.D dari Aliansi Kebangsaan, Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Dr. Nurul Zuriah, M.Si, dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan UMM.

Dalam paparannya, ketiga pemateri sepakat Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) sejatinya tak diperlukan, tidak urgen, dan sangat lemah metodologis-filosofis, sehingga tak perlu diteruskan lagi pembahasannya.

Pemateri pertama, Dr. Abdul Mu’ti menyebutkan, PP Muhammadiyah secara khusus telah membentuk tim untuk mengkaji RUU HIP. Dalam pernyataan resminya, PP Muhammadiyah telah menegaskan menolak RUU ini. Pasalnya, kedudukan Pancasila sudah sangat kuat dan tidak perlu lagi diutak-atik.

Baca juga: Buat Open Course Platform bagi Masyarakat Sampang

“Muhammadiyah lewat pernyataannya menyampaikan bahwa UU HIP itu tidak urgen dan tidak diperlukan dalam situasi bangsa saat ini. Harusnya kita fokus menghadapi pandemi. Dan oleh karena itu, Muhammadiyah meminta proses pengesahan RUU itu dihentikan,” tutur tokoh yang juga menjabat Sekretaris Umum PP Muhammadiyah ini.

Sejalan dengan itu, pada uraian awalnya Yudi Latif, Ph.D menyatakan bahwa ideologi Pancasila tidak boleh dipolitisasi. “Pelajaran terpenting yang dapat diambil dari Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila ini memberikan kita kesadaran bahwasanya ada sesuatu yang tidak boleh dipolitisasi dalam kehidupan politik di Indonesia. Apa lagi yang bersifat fundamental dalam keberlangsungan kehidupan suatu bangsa, seperti Pancasila,” tegas tokoh yang telah menulis banyak buku bertema Pancasila ini.

Ia menilai, pasal-pasal yang muncul dalam RUU HIP mengindikasikan adanya ketidakseriusan dalam penyusunannya. Orang-orang yang menyusun dan mengusulkan terkesan tidak serius. Ada banyak miskonsepsi yang ditemukan. Hal-hal elementer tidak terkoneksi dengan baik dan antar pasal tidak sejalan.

Pada akhir paparannya, pria yang pernah aktif di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini pun menegaskan bahwa RUU HIP justru menimbulkan masalah baru. “RUU ini bermasalah. Ketidakjernihan RUU ini justru melahirkan isu decline dan kontraproduktif terhadap usaha-usaha sosialisasi Pancasila,” pungkas penulis buku Negara Paripurna ini.

Baca juga:  Ciptakan Alat Cuci Tangan dari Bambu

Dari sudut pandang akademisi, Dr. Nurul Zuriah menguraikan telaah atau analisis terhadap pasal-pasal RUU HIP yang dinilainya melenceng dari nilai-nilai Pancasila, di antaranya Pasal 3 ayat 1, Pasal 3 ayat 2, Pasal 5, Pasal 6 ayat 1, Pasal 7, dan Pasal 8 huruf f. Atas telaah tersebut, Nurul Zuriah memberikan tiga kesimpulan.

“Simpulannya, RUU HIP bermaksud menggeser ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dengan paham materialism; RUU HIP bermaksud untuk mendukung Pancasila setara dengan negara; dan RUU HIP akan menjadi sumber konflik karena pasal-pasalnya tidak koheren dan memberi peluang terjadinya intervensi kekuasaan terhadap Pancasila,” pungkas dosen senior Prodi PPKn FKIP UMM yang juga menjabat sebagai Ketua AP3KnI (Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) Jawa Timur.

Sementara itu, sebagai penutup, Dr. Poncojari Wahyono, M.Kes., Dekan FKIP UMM yang langsung berperan selaku moderator mengimbau para peserta untuk tetap menyikapi isu dan RUU HIP ini dengan bijaksana. Protes-protes dan penolakan haruslah tetap dilakukan secara santun, beretika, dan melalui jalur yang semestinya.

“Penolakan RUU HIP ini dilakukan oleh puluhan organisasi kemasyarakatan dengan argumentasi yang sangat rasional. Namun, penolakan ini tentu harus dilakukan dengan penuh kesantunan dan bijak. Jadi, bukan penggalangan suara atau kegiatan-kegiatan yang tidak beretika,” tutur Dr. Poncojari Wahyono mengakhiri diskusi. (fid/can)

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image